Pemilu

Beberapa hari yang lalu negara kita melaksanakan pesta demokrasi lima tahunan yang diberi nama Pemilu (Pemilihan Umum). Pemilu kali ini diadakan untuk memilih anggota legislatif yang akan menduduki kursi di parlemen dalam beberapa tingkatan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota/Kabupaten (DPRD tingkat II), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi (DPRD tingkat I), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masing-masing calon berusaha mengkampanyekan diri mereka masing-masing agar suara yang memilih mereka mencukupi kuota untuk dapat duduk di kursi yang dituju.

Pada saat hari h pencoblosan kebetulan saya bertugas sebagai seorang kontributor
quick count LSI bekerja sama dengan Metro TV. Saya bertugas di daerah Kediri tepatnya di kecamatan Ngadiluwih, Desa Dukuh, TPS 7. Perjalanan dari Jember bermula pada pukul 12 malam berangkat dari terminal Tawangalun menuju terminal Bungurasih Surabaya, lalu menlanjutkan perjalanan ke Kediri dengan menggunakan bus jurusan Surabaya-Trenggalek tepat di pertigaan Ngadiluwih. Sesampai di sana saya langsung melaksanakan tugas memantau Pemilu yang terjadi di sana. Di Tps yang saya amati saya melihat sebuah kejadian unik dimana ada seorang pemilih yang cacat tetap menggunakan hak pilihnya. Saya sangat salut pada Bapak itu yang walaupun dengan susah payah dan keterbatasan yang dimilikinya, dia tetap berusaha untuk turut serta membangun Negeri ini dengan cara menyumbangkan suara.

Perilaku Bapak tadi membuat saya berpikir. Andai saja masyarakat Indonesia yang memilih untuk golput pada saat pemilu kemarin menyaksikan secara langsung kejadian tadi, tentunya saya mengira mereka akan malu. Malu karena orang yang cacat saja mau memberikan suara mereka, lantas kenapa orang yang memiliki keadaan yang lebih sempurna dan kemampuan berpikir lebih baik tidak mau memberikan suara mereka? Beberapa orang yang memilih golput berwacana bahwa mereka bersifat golput tersebut merupakan hasil dari proses berpikir mereka yang apatis terhadap orang-orang yang menyalonkan diri mereka. Singkatnya, di antara sekian banyak caleg dan partai politik yang ada, tak satu pun berkenan di hati mereka. Perilaku seperti ini tentu merupakan hak mereka, tetapi coba bayangkan apabila hal ini terorganisir secara massal. Efeknya akan sangat buruk terhadap legitimasi pemerintahan legislatif. Jika partisipasi masyarakat misalkan secara ekstrim hanya 10 persen, maka apakah pemerintahan tersebut akan
legitimated? Hendaknya sebagai warga negara yang baik, kita harus berpartisipasi dalm pemilu. Memilih wakil kita di pemerintahan secara selektif berarti kita juga ikut membangun negara ini agar menjadi lebih baik.

Comments

Popular posts from this blog

10 Ideas For Instructing Center College Math

Obama Helps Mothers Go Again to Faculty

Information To Selecting The Proper Flight Faculty